Mengupas Cerpen “Pada Malam Angin
Berkelebat” Karya Intan Hs
Oleh:
Syafrizal Sahrun
Kehidupan
manusia tak selamanya mujur, walau sejatinya kemujuran adalah impian setiap
manusia. Itulah kehidupan, seperti peribahasa “Tanaman padi meninggi, rumputpun
tak kalah iri ”. Walaupun demikian bukan berarti Tuhan tidak adil, melainkan
itulah keadilannya jika kita termasuk orang-orang yang berpikir. Sebagai
manusia, kita terkadang lupa diri ketika mendapat kebahagian, tapi jika
mendapat kesusahan baru sibuk mencari alasan untuk menyalahkan—terkadang juga Tuhan.
Karya
sastra berpotensi untuk memberikan penyadaran kepada manusia jika manusia
bersedia mengkonsumsinya dengan baik. Tidak hanya membaca, tapi juga
mencermatinya sebagai pengalaman menjalani kehidupan. Tak jarang pengalaman
yang dituliskan dalam karya sastra dapat mengena di kehidupan pembaca, dengan
demikian kita dapat mengilhami pengalaman orang lain untuk memperkaya
pengalaman diri sendiri.
Mari
kita tinjau cerpen “Pada Malam Angin Berkelebat” karya Intan Hs yang terbit di
rubrik Art & Culture Harian Medan
Bisnis tanggal 15 Juli 2012. Cerpen ini menceritakan sebuah permasalahan yang
sebenarnya juga hadir disekeliling kita—tentang ikatan keluarga. Agus adalah
tokoh utama dalam cerpen ini. Selain jadi anak sulung, dia juga merangkap jadi
ayah sekaligus ibu bagi kedua adiknya. Tanggung jawab yang besar harus dipikul
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Saya
turunkan penggalan cerpen tersebut:
Ia merebahkan diri ke lantai. Lenguh napasnya panjang, dan matanya
menerawang ke langit-langit. Sejumlah kenangan terbersit di pikirannya saat ini. Sejak kepergian ibu, banyak perubahan yang terjadi. Tanggung jawab ini dipikulnya karena takdir. Hanya
ada sedih dan kecewa mendalam di hati sepeninggal ayah. Ayah telah
sepuluh tahun pergi meninggalkan ibu begitu saja. Saat itu ia masih berusia
sepuluh tahun, sedangkan kedua adiknya masih berusia tujuh
dan satu tahun. Ibu masih terlihat cantik, dan belum
terlalu tua tetapi entah mengapa ayah pergi. Tak terhitung berapa kali ia membujuk ayah untuk pulang, tidak tinggal dengan dengan biduan kampung, tetapi ayah tak pernah mau di bujuk
untuk pulang. Kemudian ayah dan biduan itu pergi. Entah kemana.
Penulis
cerpen ini ingin menyampaikan bahwa seorang ayah sebagai kepala rumah tangga
yang mestinya bertanggung jawab atas keluarganya malah mengabaikan itu semua
karena tak kuasa menahan syahwat terhadap biduan yang diceritakan. Akhirnya
dari sikap demikian mengakibatkan istri yang disia-siakan meninggal tertekan
batin serta anak-anaknya seperti ayam kehilangan induk. Untunglah Agus, anak pertama
dari keluarga yang diceritakan mampu menghidupi kedua adiknya. Walau demikian, masih
begitu jelas dendam yang mereka simpan kepada lelaki brengsek yang menjadi ayah
mereka. hanya karena satu nyawa, rela menelantarkan empat nyawa. Jika hal yang
demikian kita kenakan dalam hidup kita, maka dapat menjadi pembenaran akan
dendam yang dikandung seorang anak kepada ayahnya, bahkan niat untuk membunuh
akan menjadi jalan keluar yang “dihalalkan”.
Otak manusia!
Ketragisan
cerita yang dibangun, diyakini tidak semata-mata rekaan. Membangun cerita fiksi
tidak menutup kemungkinan pondasinya adalah kisah nyata, kemudian untuk langkah
membangunya barulah dimuati unsur rekaan untuk pemuasan batin. Tak selamanya
cerita yang dilahirkan si pengarang hadir dikehidupan nyata, tetapi walau
demikian bukan berarti cerita tersebut tidak mempunyai muatan apa-apa (selain
kebohongan) melainkan dapat dijadikan tolak-ukur atau pertimbangan kita dalam
menjalani kehidupan yang “belukar” ini.
Dalam
cerpen ini juga dihadirkan dialog-dialog ke tiga abang beradik itu mengenai
kecemburuan yang mengakar pada jiwa mereka (yang bungsu di gambarkan masih
begitu lugu). Seorang ayah yang mestinya menjadi panutan diibaratkan bagai seekor
anjing yang setia kepada majikan—biduan itu. Utuk mempertegas pendapat ini,
saya turunkan kembali penggalan yang terkait:
"Bang, lihatlah
lelaki itu."
"Ya… wajahnya tak berubah sama sekali."
Risza membisu. Ia melihat ke arah lelaki yang diperbincangkan kedua abangnya. Hanya saja ia memang tak mengetahui siapa lelaki itu sebenarnya.
Ibu sakit dan meninggal karena ayah. Ucapan Teguh kembali terlintas di pikirannya. Jika ayah tak pernah meninggalkan ibu demi biduan itu, mungkin ibu tak akan pernah sakit-sakitan dan meninggal dalam kesedihan.
"Dia terlihat seperti anjing yang
setia kepada majikannya." ucapnya lemah seraya berbisik ke telinga Teguh.
"Suatu hari, aku akan membalasnya."
suara Teguh bergetar.
Mata mudanya menyala.
"Bang, kalian bicara apa? Aku tak mengerti sama sekali. Lebih baik kita pulang, besok aku harus sekolah." Pinta Risza.
"Ya, lebih baik kita pulang saja."
Terkutuklah kau, ayah, Teguh membatin
Dalam
percakapan di atas, saya menemukan kemarahan yang dimuati emosional cerpenisnya
tanpa melihat siapa tokoh dalam cerita. Percakapan itu lebih mencerminkan
kemarahan orang dewasa padahal yang melakukannya adalah anak-anak. Mungkin
karena keterburu-buruan untuk mengekspresikan kemarahan anak-anak yang
dimunculkan dalam percakapan sehingga cerpenisnya membuat hal yang demikian.
Menjelang
klimaks, cerpenis menghadirkan perkelahian antara seorang anak dan ayahnya. Hal
itu dipicu soal dendam yang terus berdetak hebat di dada anaknya sebab ayahnya
begitu tega menelantarkan keluarga mereka. Yang kurang berkesan bagi saya,
perkelahian itu terlalu lemah. Hal itu karena terlalu mudahnya si ayah merebut
pisau yang dipegang anaknya. Tiba-tiba lagi entah dari mana, leher anaknya
sudah terluka dan mengakibatkan malaikal maut semakin dekat untuk menjeput si
anak. Seandainya suasana perkelahian itu lebih dijelaskan mungkin akan menjadi
konflik yang lebih menarik—perkelahian anak dan ayah.
Dengan
demikian, saya menyambut baik cerpen karya Intan Hs ini. Saya yakin dan percaya
cerpenis juga telah menggarap tulisannya dengan semaksimal mungkin. Untuk itu
mari kita petik amanat yang di sampaikan, semoga di dalam kehidupan
berumahtangga hal seperti yang dikisahkan pada cerpen tersebut jauh dari
kehidupan kita. Amin.
(Tulisan ini di muat pada rubrik Art & Cultur Harian Medan Bisnis, 7 Oktober 2012)
.
Komentar
Posting Komentar