Langsung ke konten utama

TETIRAH DALAM KRITIK SOSIAL DAN SEJARAH



(Terbit di rubrik Art & Cultur Harian Medan Bisnis, 2 Desember 2012)

TETIRAH DALAM KRITIK SOSIAL DAN SEJARAH

Oleh: Syafrizal Sahrun



Sastra sangat berpotensi sebagai media penyadaran dan pengajaran kepada manusia. Lewat bahasa yang diracik dengan indah, sastra kiranya dapat mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan. Selain itu, sastra juga mampu menjadi media kritik yang estetik sehingga dapat menekan amarah ketersinggungan dan kiranya amarah itu berubah menjadi pengkajian diri yang lebih dalam dari pada penyampaian kritik yang vulgar.
Julang. Julang adalah nama buku antologi cerpen dan puisi sastrawan Sumatera Utara. Pengertian julang itu sendiri adalah meninggikan atau membuat lebih tinggi posisinya dari biasa (KBBI). Filosofi yang saya ambil dari nama itu ialah mudah-mudahan dengan “penabalan” julang sebagai nama kiranya dapat memosisikan buku beserta karya-karya yang termaktub di dalamnya dapat bermakna di hati masyarakatnya. Amin.
Julang ini memuat 5 cerpen dari 5 cerpenis dan 34 puisi dari 10 pujangga. Untuk cerpen memuat karya A. Rahim Qahar, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Sulaiman Sambas dan Wahyu Wiji Astuti. Sedangkan untuk puisi, memuat karya Damiri Mahmud, Idris Pasaribu, Ilham Wahyudi, Intan Hs, Maulana Satrya Sinaga, M. Raudah Jambak, S. ratman Suras, Syaiful Hadi J.L, Teja Purnama dan Ys Rat.
Untuk mengapresiasi karya yang ada di buku ini, saya menyadari kekurangan saya untuk membicarakan kesemua karya yang ada di dalamnya. Untuk itu saya telah memilih satu cerpen untuk saya perbincangkan. Cerpen ini berjudul Tetirah. Sebagai cerpen pembuka, saya menemukan hal yang fakta bagi pemahaman saya di dalamnya.
Setelah membaca Tetirah, saya menemukan pemahaman baru mengenai sejarah kehidupan tokoh perempuan Indonesia yang masuk dalam kategori pahlawan nasional yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (Feminisme). Walaupun cerpen adalah bagian dari sastra yang bersifat fiktif, bukan berarti kefiktifannya itu tidak dapat dijadikan bahan pemikiran yang dapat menghubungkan antara hayalan dan kenyataan.
Cerpen sebagai salah satu bagian dari sastra juga sangat menjunjung etika dan estetika dalam pengungkapannya. Sebagai cerita yang habis dibaca sekali duduk, sebenarnya cerpen begitu gamblang memberikan pemahaman-pemahan kehidupan kepada pembacanya. Walaupun demikian, tetap harus ada pengkaji atau pengapresiasi sehingga sastra pada umumnya atau cerpen pada khususnya lebih bermakna di hati pembaca.
Menurut KBBI, defenisi tetirah ialah pergi ke tempat lain dan tinggal sementara waktu (untuk memulihkan kesehatan, dsb). Untuk kejelasan makna dari cerpen ini, mari kita tetirah kedalam cerpen Tetirah.
“Soekartini bangkit. Ibu bangsa ini bangkit dari tidur yang amat panjang. Sebuah reinkarnasi yang dijeput oleh desakan manusiawi. Dahulu Soekartini telah membangun rel kukuh, agar orang-orang berjalan menurut jalur. Tapi sekarang, orang-orang apalagi wanita, telah membuat relnya sendiri-sendiri. Rel bengkok lagi berkarat. Di atas rel bengkok dan berkarat itulah, wanita-wanita tetirah, mengayun langkah menuruti jejak kehendak yang membuncah.”
Tokoh Soekartini dalam cerita di atas saya artikan sebagai Raden Adjeng Kartini. Perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, 17       September 1904 pada umur 25 tahun adalah anak dari putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Pertanyaannya apakah mungkin Kartini bangkit lagi? Ya. Jiwa perjuangan Kartini yang bangkit di dalam pemikiran masyarakat. Dalam cerpen tersebut digambarkan Kartini bangkit dari tidur panjangnya sebab desakan rasa manusiawi. Kebangkitannya itu tak lain hanya untuk melihat apakah yang diperjuangkannya sudah tercapai, masih diterapkan dalam kehidupan atau hanya sebagai ingatan yang hanya berupa sampul belaka.
Meski Kartini menolak penindasan kaum perempuan, tapi dia tetap tunduk kepada tugas sejati seorang perempuan. Misalnya kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pendidikan dan mengeluarkan pendapat. Tapi memang ada hal-hal yang memang tidak bisa disamaratakan antara laki-laki dan perempuan, Kartini tahu betul tentang itu dan dia tetap mematuhinya. Perjuangan Kartini membela kaumnya banyak disalah arti. Di luar sana, perempuan-perempuan yang meneriakkan emansipasi yang dibawa Kartini malah mengenyampingkan kodratnya. Cara memandang emansipasi itu yang saya terjemahkan sebagai Rel.
Bagian selanjutnya, melalui pandangan fiktif cerpenis dikisahkan bahwa Kartini pernah menemui perempuan yang acap disapa Pratiwi. Tokoh Pratiwi saya terjemahkan sebagai Ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi merupakan personifikasi nasional Indonesia, sebuah perwujudan tanah air Indonesia.  Sejak masa prasejarah, berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara sudah menghormati roh alam dan kekuatan bumi, mereka mengibaratkannya sebagai ibu yang memberikan kehidupan, sebagai dewi alam dan lingkungan hidup. Setelah diserapnya pengaruh Hindu sejak awal millenia pertama di nusantara, dia dikenal sebagai Dewi Pertiwi, dewi bumi.
Pada rentetan cerita selanjutnya diceritakan Kartini menghampiri Bu Lucy—ketua penyelenggara atraksi fashion show di Lobi Mal Super Plaza. Kegiatan itu dilaksanakan sebagai peringatan Hari Kartini. Pada bagian ini, Kartini melakukan percakapan dengan Bu Lucy. Kartini marah dengan kegiatan yang tidak senonoh dilakukan atas namanya. Misi visi kartini bukan mengajarkan kepada kaumnya untuk mempertontonkan paha dan payudara. Bukan berarti laki-laki bisa buka baju, lantas perempuan juga ingin buka baju, bukan itu emansipasi yang dibawa kartini. Dalam dialog Kartini berkata:
“Bila demikian, Jangan sekali-kali pakai nama Kartini.  Buat saja dalam rangka memperingati Hari Merlyn Monroe, Hari Lady Gaga, Imelda, Madonna dan masih banyak nama lain yang lebih tepat! ”
Itulah bentuk kekesalan Kartini kepada kaumnya dewasa ini. Tapi Bu Lucy hanya menghadiahkan cibiran melepas kepergian Kartini.
Dalam bagaian cerpen selanjutnya, cerpenis juga membabat sikap guru/tenaga pendidik di negeri ini. Himne guru dari dulu hingga kini masih saja di dengungkan walau pada nyatanya itu sudah tidak layak. Istilah guru tanpa tanda jasa mesti tafsir lagi. Meski ada pengkotak-kotakan antara guru tanpa tanda jasa dengan guru dengan tanda jasa. Tugas guru sekarang sudah di profesikan. Gaji juga sudah cukup lumayan di tambah tunjangan fungsional dan sertifikasi. Walau demikian masih saja guru itu mengeluh dengan alasan menjadi guru adalah pekerjaan yang memprihatinkan. Walaupun tak bisa dipungkiri, di wilayah tertentu masih ada guru yang bekerja dengan hanya digaji seratus ribu perbulan dengan iming-iming sertifikasi tapi masih iklas mengajar, inilah yang layak disebut guru tanpa tanda jasa itu.
Selain masalah penghasilan, Kartini juga mengkritik kurikulum pendidikan yang saban ganti pimpinan, ganti pula kebijakan. Buku pelajaranpun tak bisa dipakai turun temurun, padahal isinya itu-itu juga, cuma capnya saja yang berbeda. Adalagi yang harus dibenahi yaitu pendidikan agama. Pendidikan agama disekolah sangat-sangat di butuhkan sebab dari pembelajaran itu, siswa diajarkan akhlak yang membentuk karekter manusia yang diharapkan. Tapi nyatanya jam pelajaran agama tak mendukung proses penerapannya, bahkan ada pula wacana kalau mata pelajaran agama mau dihapukan saja. Wah, mau jadi apa generasi bangsa ini!
Selanjutnya, melalui Kartini, cerpenis mengkritik pula perempuan dengan mengatasnamakan emansipasi wanita nekat menjadi imam dan makmumnya lelaki dan perempuan yang bergandeng rapat sambil mempertontokan aurat. Kisah ini banyak juga kita temukan di kehidupan nyata. Terkadang semakin berkembangnya pemikiran manusia, semakin cacat juga akhlak dan keimananya pada ajaran agama. Bahkan ada yang perempuan yang nekat mengaku dirinya nabi sekaligus Tuhan.
Memaparan di atas cukuplah agaknya untuk mengatakan bahwa cerpen ini bermuatan kritik sosial. Kritik-kritik yang disematkan pada sosok Kartini dan disandingkan dengan alur cerita yang sangat mengikat mengajak kita untuk memaknai perjuangan Kartini. Emansipasi yang dibawa kartini berbeda muatannya dengan aliran feminisme dari barat walau sama-sama meperjuangkan hak perempuan. Menurut pandangan saya emansipasi yang di gaungkan masa kini adalah emansipasi dari barat itu bukan yang di bawa Kartini, tapi Kartini juga yang menjadi kambing hitam.
Selain menkritik kehidupan sosial, dalam cerpen ini saya temukan juga kritik sejarah. Pada ending cerita, diisyaratkan bahwa sebenarnya perjuangan kartini belumlah sesuai dengan cita-citanya, masih jauh bahkan dari apa yang diharapkan. Ternyata Koor sabda alam “wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu” masih melekat dalam kehidupan kaumnya. Apalagi cerpenisnya menyandingkan kegagalan Kartini lewat banyaknya perempuan-perempuan pemuas birahi sekarang ini. Meskipun sudah ditangkapi atau dirazia tapi jumlahnya tak pernah sirna.
Pada ending cerita ini, saya menerjemahkan bahwa cerpenis mengajak kita untuk menejemahkan lagi kemana arah perjuangan Kartini dan apakah dewasa ini perjuangan itu sudah mencapai batas yang diharapkan atau keadaan kaum perempuan sekarang semakin bobrok. Untuk pemaknaan lebih jelas, marilah kita selami lagi cerpen Tetirah yang di karang oleh A. Rahim Qahar secara utuh dan mari kita hubungkan dengan keadaan yang terjadi di sekeliling kita. Mudah-mudahan bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Untuk Buku Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Timur

Catatan Untuk Buku Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Timur Oleh: Syafrizal Sahrun (akhirnya diterbitkan di Haluan Kepri, 9 Desember 2012) Tepatnya tanggal 13 November 2012  telah dilaksanakan kegiatan peluncuran buku dengan judul “Adat Pekawinan Masyarakat Pesisir Sumatera Timur” karya Prof. Dr. H. O.K. Moehad Sjah. Kegiatan itu dilaksanakan di Kantor Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu rangkaian acara Gelar Buku, Budaya dan Teknologi Tahun Anggaran 2012 yang mengangkat tema ‘Dengan membaca kita wujudkan hidup sejahtera’. Sebagai masyarakat yang sadar betapa pentingnya buku dan budaya baca patutlah acara ini kita beri sambutan baik. Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula pemikiran manusia. Hal itu mau tidak mau akan mengikis keyakinan akan pentingnya beradat istiadat. Melanggar pantang, yang sekarang ini generasi muda tak dapat memaknai secara rasional mengenai kenapa suatu perbuatan itu ditida...

Resensi Buku: Langkah Awal Pemahaman Teori Sastra

 (Terbit di rubrik Belia Harian Medan Bisnis, 2 Desember 2012) Langkah Awal Pemahaman Teori Sastra Oleh: Syafrizal Sahrun Judul                : Pengantar Teori Sastra Penulis              : Dwi Susanto S.S, M.Hum Penerbit            : CAPS Tahun               : Cetakan pertama, 2012 Tebal                : vii + 272 halaman ISBN                : 978-602-9324-03-7 Secara normatif, studi sastra dibagi dalam beberapa bidang, yakni teori sastra, kritik sastra, sejarah sastra, sastra bandingan, dan kajian budaya. Teori sastra mempelajari kaidah-kaidah, paradigma-paradigma, dan...

Haluan Kepri, Minggu, 2 Desember 2012

Sajak-sajak Syafrizal Sahrun TEMALI DAN KAU/1 sebagai temali apa lagi yang dapat kulakukan untuk membantumu berapa kali bahkan tak kukira lagi berapa peluh sudah ;aku sampai lupa cara mengira pagi ini, ketika mentari masih telungkup kau berjalan menyibak kabut menimang rindu   juga cemburu padahal mulai kemarin batukmu telah jadi jandu pada malam sendu TEMALI DAN KAU/2 entah mengapa di tengah jalan ketika batukmu kambuh aku hanya mampu tersengkum tak mampu menengok aku telah terburai di dalam masa aku tak bisa untuk sekedar membantumu menyulam tuju tepat waktu tapi walau begitu taklah dapat kupungkiri bahwa aku tak mampu berbagi sampai tubuhku tak bisa lagi dikata temali KETIKA PURNAMA kekasih bulan sudah purnama ketika gelas lepas dari gengaman daundaun menggamit sejuta kelam dalam ingatan rantingranting patah pada sekali hembusan kekasih pada dudukku semilir angin menghembuskan ke...