Langsung ke konten utama

Omong-omong Sastra Sumut: TIRU MENIRU DALAM BERKARYA


(Terbit di rubrik budaya Harian Waspada, 18 November 2012)
Omong-omong Sastra Sumut

TIRU MENIRU DALAM BERKARYA
Oleh: Syafrizal Sahrun


Plato berpendapat bahwa seni adalah sebagai usaha meniru alam dengan segala bentuknya dengan menggunakan suatu media. Sedangkan Aristoteles yang  tak lain murid Plato itu sendiri, berbeda pendapat dengan gurunya mengenai seni. Menurut Aristoteles, seni adalah peniruan alam, tetapi peniruan yang dimaksudkan harus ideal dalam arti penciptaan seni itu berdasarkan bentuk alam yang disertai ide penciptanya untuk mengahasilkan sesuatu yang lebih indah. Banyak memang pendapat-pendapat lain memengenai pengertian seni ini, tapi saya pendapat dua orang ini saja karena pendapat mereka mengenai tiru meniru atau disebut juga dengan mimesis.
Prihal tiru meniru inilah yang saya jumpai pada ke dua makalah yang disajikan pada omong-omong sastra yang dilaksanakan pada tanggal 11 November 2012 di klinik dr Umar Zein—jalan Denai. Seperti biasa, kegiatan ini tetap saja dihadiri oleh mahasiswa, dosen, sastrawan, guru, wartawan dan budayawan. Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa kegiatan omong-omong sastra Sumut itu memang besar, bahkan usianya sudah mencapai 36 tahun. Memang kebesaran sebuah kegiatan tidak diukur dengan usia, tapi bagi saya muatan di dalam omong-omong sastra itu sudah memadai untuk dikatakan besar. Tidak mesti acara itu dihadiri dulu oleh pejabat pemerintahan baru bisa dikatakan besar.
Pemakalah pada kesempatan ini terdiri dari Zuliana Ibrahim dan D. Rifai Harahap sedangkan untuk moderatornya Khairul Anam. Makalah pertama yang dipaparkan oleh Zuliana Ibrahim berjudul “Kebebasan Yang Tak Bebas Dalam Lomba Baca Puisi”. Kita sama tahu, bahwa penilaian dalam membaca puisi antara lain penilaian vokal, penghayatan, penampilan, intonasi, pelafalan dan mimik. Tapi walau demikian menurut pengalaman Zuliana, dalam mengikuti lomba baca puisi, tak lain tak kurang harus juga memahami tipikal dewan juri dalam berpuisi (membaca puisi). Hal itu dianggap salah satu modal untuk mengambil simpati juri sehingga peserta yang mempedomani hal itu menjadi juara. Hal seperti itu, tidak hanya terdapat pada lomba baca puisi, tetapi juga menjadi panduan dalam mengirimkan karya ke surat kabar. Bukankah si pengirim setidaknya mengenal siapa redakturnya? Lantas sebenarnya bagaimana yang dikatakan objektif dalam menentukan juara dalam sebuah pertandingan? Pertanyaan zuliana itu juga mengotori pikiran saya.
Zuliana mengambil contoh gaya membaca Sutardji Calzoum Bachri. Dalam membacakan puisinya yang berjudul ‘Kapak’, beliau berpropertikan sebuah kapak dan kayu, kemudian mengapaki kayu tersebut sampai hancur. Setelah itu barulah dia membaca puisinya.  Berbeda pula dengan Abdul Hadi W.M yang membaca puisinya seperti seorang kiai memberi ceramah. Mengapa ada perbedaan, lantas siapa yang pantas jadi pedoman dalam membaca puisi? Padahal mereka berdua mempunyai nama besar dalam khazanah perpuisian Indonesia.
Mengutip lagi makalah zuliana, Atmazaki dan Hasanuddin (1990: 18-19) berpendapat bahwa seorang yang meniru cara orang lain membaca puisi, maka orang tersebut telah meninggalkan kepribadiannya dan ia telah menampilkan orang lain yang kepribadiannya berbeda dengan dirinya sendiri. Hal itu memang benar, jika terus meniru kita akan kehilangan siapa diri kita dan kita akan tetap menjadi orang lain dalam diri kita sendiri. Tapi bagi para pemula, saya rasa itu hal yang wajar. Dari peniruan itu kiranya si peniru dapat menemukan trik baru dalam berkreatifitas yang khas mencerminkan dirinya sendiri. Jangan pula terus-terusan meniru, itu yang tidak baik.
Pada intinya, kekhawatiran Zuliana ini menjadi hal yang tabu untuk di jawab sebab tak da yang menjawabnya secara transparan. Setidaknya hal ini di tujukan Zuliana bagi orang-orang yang pernah menjadi juri dalam perlombaan baca puisi. Kebetulan pada omong-omong sastra kali ini, ada beberapa sastrawan yang kerap menjadi dewan juri dalam perlombaan baca puisi, baik itu tingkat pelajar, mahasiswa maupun umum tidak berhadir sebab kesibukan lain, jadi jawaban dari pertanyaan Zuliana ini masih mengambang.
Pada makalah ke dua, D. Rifai Harahap memaparkan makalahnya dengan judul “Seni Pertunjukan Basis Pengenalan Diri”. Makalah ini lebih khusus membahas mengenai teater yang kebetulan memang di situlah pemakalah ini berkutat. Menurutnya, sejak zaman purba, sejak seorang ibu melahirkan anaknya, yang namanya keinginan bayi akan puting susu ibu yang melahirkannya tak pernah berubah. Siapa yang mengajarkan bayi itu menangis, tertawa dan merangkak? Tidak ada, keinginan itu muncul dalam dirinya sendiri. Intinya setiap manusia mempunyai keinginan, dan pastilah yang lebih baik dari sebelumnya.
Dunia teater adalah dunia yang memperlihatkan kembali tingkah laku manusia dalam menjalani kehidupan. Mengajarkan kembali bagaimana memaknai hidup dan belajar menyadari kesalahan, mengatakan benar jika benar dan salah jika salah, walau nyatanya itu hanya berupa penyadaran di dalam dada. Meskipun begitu berharganya teater, tapi sebenarnya kita masih kekurangan penikmat di daerah kita ini. Apakah dunia teater di kota kita ini dapat terus bertahan dan berproduksi dengan baik? Sementara disadari atau tidak, di kota ini tak ada kelompok teater yang profesional.  
Dari makalah itu, muncullah tanggapan dari Ardani. Menurutnya kenapa hal yang sedemikian terjadi karena tidak adanya hubungan baik antara seniman dan pemerintah. Bukankah pemerintah dapat menjadi penyokong dana dalam berkesenian. Ya. Memang hal yang di tawarkan Ardani itu masuk akal. Tapi sampai kapan para seniman itu bergantung kepada pemerintah? Apakah seniman itu tidak bisa berdiri sendiri (independen)? Jika seniman hanya bergantung kepada pemerintah, bagaimana karya dari seniman itu bisa menjadi wakil masyarakat yang acap kali di tindas oleh penguasa? Apakah kesenian di era modern ini harus kembali kepada penceritaan keindahan kehidupan istana saja? Saya rasa tidak.
Dalam makalah kedua ini saya menemukan juga keritikan yang ditujukan kepada saudara-saudara kita yang dapat kita saksikan aksinya di layar televisi Sumut. Keberhasilan itu karena mampu ‘meniru’ gaya bermain salah satu grup terkenal dari ibu kota.  Menurut observasi pemakalah ini, banyak penonton yang bergiat di bidang seni pertunjukan menyayangkan adanya peniruan itu. Sayang jika pergelutan puluhan tahun di dunia pertunjukan menjadi sia-sia karena kelompot tersebut tidak pernah mengenal dirinya sendiri. Bukankah seni pertunjukkan dari Sumatera Utara pernah sukses di ajang nasional dengan gaya khas yang pernah ada! Memang tidak berdosa melakukan penuruan. Meniru boleh saja, tapi sampai kapan?
Jika dipahami, kedua makalah itu bertemakan ‘meniru’ dalam berkarya. Sadar atau tidak, kedua pemateri mempunyai permasalahan yang sama melihat gaya tiru-meniru ini di dalam berkarya khususnya di Sumatera Utara. Dengan demikian, baiklah kita ambil nilai positif saja mengenai pembahasan ini. Saya rasa di setiap kita punya pemahaman dan cara lain untuk menjelaskan mengenai ‘benar’ atau ‘salah’,  serta mempunyai jalan keluar yang baik untuk permasalahan ini. harapan saya pemikiran yang cemerlang itu bisa diaplikasikan sehingga Sumatera Utara dapat kembali menjadi barometer kesenian di Indonesia.

Percut, 14 November 2012
Penulis adalah peserta Omong-omong Sastra Sumut.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Untuk Buku Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Timur

Catatan Untuk Buku Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Timur Oleh: Syafrizal Sahrun (akhirnya diterbitkan di Haluan Kepri, 9 Desember 2012) Tepatnya tanggal 13 November 2012  telah dilaksanakan kegiatan peluncuran buku dengan judul “Adat Pekawinan Masyarakat Pesisir Sumatera Timur” karya Prof. Dr. H. O.K. Moehad Sjah. Kegiatan itu dilaksanakan di Kantor Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu rangkaian acara Gelar Buku, Budaya dan Teknologi Tahun Anggaran 2012 yang mengangkat tema ‘Dengan membaca kita wujudkan hidup sejahtera’. Sebagai masyarakat yang sadar betapa pentingnya buku dan budaya baca patutlah acara ini kita beri sambutan baik. Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula pemikiran manusia. Hal itu mau tidak mau akan mengikis keyakinan akan pentingnya beradat istiadat. Melanggar pantang, yang sekarang ini generasi muda tak dapat memaknai secara rasional mengenai kenapa suatu perbuatan itu ditida...

Resensi Buku: Langkah Awal Pemahaman Teori Sastra

 (Terbit di rubrik Belia Harian Medan Bisnis, 2 Desember 2012) Langkah Awal Pemahaman Teori Sastra Oleh: Syafrizal Sahrun Judul                : Pengantar Teori Sastra Penulis              : Dwi Susanto S.S, M.Hum Penerbit            : CAPS Tahun               : Cetakan pertama, 2012 Tebal                : vii + 272 halaman ISBN                : 978-602-9324-03-7 Secara normatif, studi sastra dibagi dalam beberapa bidang, yakni teori sastra, kritik sastra, sejarah sastra, sastra bandingan, dan kajian budaya. Teori sastra mempelajari kaidah-kaidah, paradigma-paradigma, dan...

Haluan Kepri, Minggu, 2 Desember 2012

Sajak-sajak Syafrizal Sahrun TEMALI DAN KAU/1 sebagai temali apa lagi yang dapat kulakukan untuk membantumu berapa kali bahkan tak kukira lagi berapa peluh sudah ;aku sampai lupa cara mengira pagi ini, ketika mentari masih telungkup kau berjalan menyibak kabut menimang rindu   juga cemburu padahal mulai kemarin batukmu telah jadi jandu pada malam sendu TEMALI DAN KAU/2 entah mengapa di tengah jalan ketika batukmu kambuh aku hanya mampu tersengkum tak mampu menengok aku telah terburai di dalam masa aku tak bisa untuk sekedar membantumu menyulam tuju tepat waktu tapi walau begitu taklah dapat kupungkiri bahwa aku tak mampu berbagi sampai tubuhku tak bisa lagi dikata temali KETIKA PURNAMA kekasih bulan sudah purnama ketika gelas lepas dari gengaman daundaun menggamit sejuta kelam dalam ingatan rantingranting patah pada sekali hembusan kekasih pada dudukku semilir angin menghembuskan ke...