“Pengkolan Buaya”
Oleh Syafrizal Sahrun
Cerpen yang diterbitkan Koran Tempo edisi minggu (8/1/2012) menyajikan nuansa kehidupan di daerah pelabuhan. Menceritakan kehidupan seorang anak yang karena setiap saat melewati pengkolan buaya, akhirnya dengan penjelasan ibunya mengenai kehebatan buaya, dia pun ingin jadi buaya. Keinginan itu dilukiskan cerpenis asal Medan, Hasan Al Banna, sebagai rasa kebutuhan akan perlindungan dalam menjalani kehidupan yang serba sulit. Apa lagi keinginan itu muncul dari seorang anak perempuan, sementara ayahnya adalah “buaya darat”—sering meninggalkan mereka. Hal itu dapat kita cicipi pada kutipan cerpen tersebut di bawah ini:
“Buaya itu jahat, ya, Bu?”
“Kalau diganggu.”
“Mau itu makan orang?”
“Mau-lah. Tapi kalau diganggu.”
“Enak ya jadi buaya...” gumam Palti. Bukit kekaguman menjulang di mulutnya.
“Kenapa?”
“Biar bisa makan orang yang ganggu kita,” jawab Palti serius. Sedang Ibunya hanya mengangguk dangkal. Mmh, isi kepala anak kecil memang sering tak terduga.
“Mau rupanya Palti jadi buaya?”
“Mau!” sergap Palti. Ibunya menggeser udara ke dada, melengkungkan bibir, tapi bukan tersenyum. Oya, pernah celoteh Palti sebabkan Ibunya kedodoran menata kata-kata.
“Ibu bilang buaya jahat kalau diganggu.”
“Ya.”
“Tapi, kenapa Ayah jahat pada Ibu? Kan Ibu tak pernah ganggu Ayah?”
“Ayahmu bukan buaya, Palti.”
“Tapi, sering Ibu bilang Ayah buaya?”
“Ah, kapan pula itu?” Ibunya pura-pura terperanjat.
“Sering,” jawab Palti polos.
Tokoh Palti ini digambarkan sosok anak cerdas. Kepolosan dan rasa ingin tahu Palti terkadang membuat ibunya kelabakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Cerpen ini mengambil setting di Belawan, tempat dimana cerpenisnya pernah berdomisili. Dalam cerpen ini digambarkan salah satu cara mengais rezeki masyarakat pesisir. Ya, dengan cara menjerat udang di paloh—rawa laut.
Cerpen ini juga menyajikan peralihan pekerjaan ibu palti yang semula menggantungkan hidup di paloh, akhirnya menjadi tukang kutip makanan sisa karena paloh telah ditimbun, yang katanya akan dijadikan pelabuhan container yang megah. Kemudian digambarkan pula kecerobohan orang-orang sekitar yang sempat protes mengenai pembangunan proyek raksasa itu. Karena hanya di jamu dengan makanan dan seamplop uang yang tak seberapa rela melepaskan lahannya tanpa memikirkan jangka panjang.
Diceritakan juga keseharian Palti bersama teman-teman seperjuangannya dipengkolan itu. Mereka memilih untuk mencari rezeki dari pada bersekolah. Anak-anak seusia mereka sepantasnyalah bersekolah, tapi karena kebutuhan ekonomi, mereka merelakan usia pendidikan berlalu begitu saja. Ini salah siapa? Bagaimana jika generasi kita terus seperti ini, mengenyampingkan pendidikan demi mencari rezeki. Permasalahan serius yang mesti dikaji—khususnya buat pemerintah.
Cerita ini kemudian menceritakan permainan oknum-oknum pengangkut BBM. Mengapa tidak habis BBM yang di angkut dengan tangki di tuangkan ke bak SPBU? Mau mereka bawa kemana sisanya? Tapi hal itu menjadi lumbung rezeki bagi Palti dan kawanannya, sebab dengan adanya minyak sisa, mereka ada kerja yang menghasilkan uang. Perkerjaan ini sangat berbahaya, bahkan nyawa jadi taruhannya. Demi membantu perekonomian keluarga, nyawa jadi nomor sekian. Ini perjuangan hidup anak-anak yang mesti dijadikan pemikiran.
Alur yang digunakan pada cerpen pengkolan buaya adalah alur maju. Itu dapat dirasakan dengan membaca keseluruhan cerpen itu. Eh, ternyata bukan hanya Palti dan kawanannya yang mengincar mobil tangki itu, tapi sosok lelaki tegap yang berpangkas tipis yang digambarkan dalam cerpen itu juga. Selain mematai minyak sisa, juga mengutip uang jasa atas keamanan mobil-mobil tangki itu. Hmm, Mungkin cerpenis mengibaratkan sosok itu sebagai aparat atau preman.
Jika itu aparat, apakah masih kurang gaji yang diberikan pemerintah? Mengapa menggunakan kekuatan instansi untuk memeras? Pungli yang dilakukan masyarakat awam dilarang sementara pungli atas nama instansi (aparat penegak hukum) merajalela dan semi terbuka. Risih jika melihat tingkah penegak hukum seperti ini.
Singkat cerita, karena kecerobohan Palti, akhirnya dia ditangkap dua lelaki bertubuh tegap, berjaket gelap pada saat menguras minyak lewat tuas mobil tangki tadi. Tapi mengapa orang-orang seperti Palti yang ditangkap, mengapa “mereka” tidak? Apa karena mereka berduit atau bernaung pada “instansi bertaring”? Entahlah, mungkin seperti itu takdir permainan kehidupan di negeri ini.
Dalam kepitan lengan lelaki itu, Palti tetap berusaha untuk menyelamatkan diri. Ya, walau tahu itu sia-sia, dia tetap menunjukkan bahwa dia bukan gadis kecil yang lemah. Di saat terjepit itulah hasrat untuk menjadi buaya timbul. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Kemari jerikenku, kemari, lonjak hati Palti. Namun, yang datang—setelah suara hempas pintu mobil tangki—adalah dua lelaki bertubuh tegap, berjaket gelap. Kaleng penampung meloncat dari tangan Palti, segegas kemudian disergap segandeng ban yang berderam. Lari, lari! Hatinya kasih titah. Tapi lengan lelaki yang satu sudah mencengkeram lehernya, satunya lagi mengepit (atau mematahkan?) kaki Palti. Ia berontak, menyalak. Tapi, dua lelaki itu bukan imbangnya. Lalu, entah dari mana, suara sirene buru-memburu di telinganya.
Dalam nanar, pandangan Palti tertumbuk gelinjang buaya di jantung taman. Palti mengundak-undakkan tubuhnya. Matanya kini dipenuhi liur api. Kepala ia hentak, kaki ia sentak. Dua lelaki itu makin tak kasih ampun. Palti memiuh diri. Ia menyeringai, rahangnya gesek-menggesek. Lalu mulutnya terkuak, sebenar terkuak. Mmh, cuma Ibunya yang tahu mengapa ia sejak lama berhasrat jadi buaya.
Maka, dalam kondisi tubuh yang kian teruk, Palti terus melengkungkan lolongan: Ibu, Ibu, Palti ingin jadi buaya!”
Untuk lebih jelasnya, silakan baca cerpennya!
Percut, 9 Maret 2012
Komunitas Home Poetry
Tulisan ini dimuat pada rubrik Art & Cultur Harian Medan Bisnis (Minggu, 25 Maret 2012)
Komentar
Posting Komentar