“Politik” Rumah Sastra Kita
Seiring perkembangan sastra, semakin banyak pula permasalahan yang ditimbulkan karenanya. Permasalahan-permasalahan dunia sastra juga wajib diperbincangkan, apa lagi oleh pegiat sastra itu sendiri. Kita mesti menyadari peranan kita dalam membina dan melestarikan budaya bersastra, khususnya orang-orang yang berkecimpung di dunia sastra. Siapa lagi kalau bukan kita. Mungkinkah orang-orang di luar dunia sastra yang akan melestarikannya, tentu tidak.
Menyikapi hal tersebut, keberadaan Omong-omong sastra sumut sangat mendongkrak dalam pembahasan permasalah yang timbul dalam perkembangan sastra khususnya di sumatera utara. Baik itu tentang sejarah, peranan, masa depan dan tak terlepas juga dengan pengkajian karya sastra itu sendiri.
Omong-omong sastra sumut ini berlangsung sudah 30 tahunan. Setelah di rumah syafrizal sahrun atas nama beberapa komunitas sastra (KOMPAK, KONTAN, KOMISI) sebagai fasilitator omong-omong sastra di bulan mei yang lalu, kini tepatnya di tanggal 7 Juli 2011 omong-omong sastra bermukim di rumah Jaya Arjuna. Pemakalah dalam kesempatan ini adalah Suyadi San dan Sakinah Annisa Mariz.
Menelisik Rumah Sastra Kita
Suyadi San dalam makalahnya yang berjudul menelisik rumah sastra kita mengkaji mengenai perkembangan sastra kita (Sumatera Utara) yang maju pesat. Menerut saya, sah-sah saja jika beliau mengatakan yang demikian. Jika kita tinjau akhir-akhir ini memang banyak bermunculan penulis-penulis baru yang karyanya di muat disurat kabar, diantaranya Analisa, Medan Bisnis, Jurnal Medan, Waspada dan banyak lagi surat kabar yang memiliki ruang sastra ditongkrongi oleh penulis-penulis baru. Bukan hanya itu, bahkan belakangan ini penulis-penulis baru tersebut mengantologikan karya-karyanya misalnya antologi SUARA PERI DAN MIMPI maupun CAHAYA dan masih banyak yang lainnya.
Permasalahan lain yang saya petik dari makalah tersebut mengenai pengiriman karya ke surat kabar agar bisa dimuat. Suyadi san dalam makalahnya menuliskan pernah mendengar ada bisikan yang menyebutkan kalau penulis tersebut tidak mempunyai kedekatan link dengan sang redaktur, jangan harap karyanya bisa dibaca di Koran. Menanggapi hal itu teja purnama sebagai orang media dan sekaligus redaktur rubrik sastra di sebuah surat kabar merasa tersinggung dengan tulisan itu. Beliau mengatakan tidak seperti itu juga, terbitnya sebuah karya bukan karna adanya link tapi karena kualitas karya tersebut dan karya tersebut harus memenuhi “gaya” rubrik tersebut. Teja Purnama juga ngotot meminta Suyadi San untuk tunjuk hidung media mana yang seperti itu tapi suyadi saya tersenyum dan mengeluarkan kata “tak usahlah…”.
Sebenarnya tidak hanya Suyadi, saya juga pernah mendengar tentang hal itu. Menurut saya selain kualitas karya, kedekatan emosional dengan redaktur juga menentukan layak atau tidaknya sebuah karya itu diterbitkan. Misalnya kita sebagai penulis baru, sudahlah tak kenal dengan redaktunya, mengirimkan karya hanya sekali saja ke media yang kita tuju dan tak ada keseriusan. Bagaimana karya kita bisa terbit kalau pola seperti ini yang diterapkan. Cobalah rutin mengirimkan karya ke media yang sama, mungkin saja dengan begitu sang redaktur akan mengenal kita dari keseriusan mengirimkan karya. Istilahnya jangan nunggu di pinang tapi bagaimana kita meminang. Di samping itu juga kita mesti mengkoreksi ulang karya tersebut, mengapa sampai tidak diterbitkan.
Permasalah yang tak kalah menarik dalam makalah suyadi mengenai mempertanyakan keberadaan Ikhwanuddin Nasution, Damiri Mahmud dan Saiful Hidayat, bahkan sebelumnya ada Ahmad Samin Siregar, Shafwan Hadi Umri dan Wan Syaifuddin sebagai penulis andal saat Temu Sastrawan Sumatera di TBSU pada akhir 2007. Keberadaan dalam artian kemana mereka, mengapa tidak ada mengisi ruan-ruang kritikus dan juru bicara nasional dalam forum nasional.
Kebetulan Damiri Mahmud hadir dan menanggapi keberadaannya selama ini, dia berargumen bukannya tidak mau mengkeritik atau menjadi juru bicara, di samping permasalahan usia ada juga ketakutan terhadap penulis-penulis muda yang tidak siap untuk dikritik “penulis manja”. Ketika dikritiki karyanya, besok-bosok tak menulis lagi. Ironis memang ketika mental seperti ini masih di budayakan. Kapan kita bisa “besar” !!!
Menyikapi hal yang sama pada makalah yang sama, Sugeng Setia Darma mengatakan kebutuhan juru bicara di tingkat nasional itu tidak perlu terlalu dibesar-besarkan tapi bagaimana kita bisa menjadi juru bicara untuk diri kita sendiri. Menurutnya juga sikap narsis tidak begitu jelek sebab masih ada segi positifnya. Yah setidaknya dengan begitu kita dapat menunjukkan siapa kita. Rasanya bukan zamannya lagi untuk enggan mengeksposekan diri. Mihar Harahap juga menjelaskan bahwa tidak ada sastra nasional jika tidak ada sastra daerah, sebab dengan adanya daerah maka ada nasional. Sastra nasional bukan hanya sastra yang diperbincangkan di Ibu Kota tapi sastra Sumatera Utara juga termasuk sastra Nasional.
“Politik” Sastra
Sebagai pemakalah ke dua dalam Omong-omong Sastra kali ini, Sakinah Annisa Mariz dengan judul makalah Politik Membina Sastra Atau Politisasi Sastra. Dalam makalah ini dia coba memperbincangkan “politik” sastra.pendapat antilan yang dikutipnya dalam buku “Politik Sastra Indonesia” menjelaskan bahwa politik yang dimaksud bukanlah politik yang mengacu di dalam dunia sastra melainkan politik/strategi untuk membina serta mengembangkan sastra di Indonesia yang bertujuan untuk memperluas wilayah pembaca dan penikmatnya dan meningkatkan daya cipta karya sastra itu sendiri.
Jika dikaitkan dengan seminar yang selenggarakan oleh KSI dengan menghadirkan Saut Situmorang beberapa waktu lalu di UNIMED, ada perbedaan sudut pandang dari “politik” yang di bicarakan pada faragraf di atas. “politik” di sini diartikan dengan politisasi pemerintah atas karya sastra. Karya sastra yang di anggap sesat oleh rezim pemerintahan maka akan “digelapkan”.
Sakinah mengambil contoh tentang Pramudia Ananta Toer dan Wiji Thukul. Karya-karya si Pram pada masa rezim orde baru, ditarik dari peredaran dan sengaja dimusnahkan dan dia terpaksa menjalani hukuman tanpa peradilan. Sedangkan Wiji Thukul dengan sajak-sajak “pedasnya” mengkritik pemerintah maka harus lenyap tanpa berita.
Menanggapi paparan Sakinah, Damiri Mahmud pun angkat bicara mengenai kasus Pram. Menurutnya bukan karya-karya Pram yang “dijegal” tapi karena sosok Pram itu sendiri yang di anggap seorang LEKRA (PKI) meski dia tidak pernah mengakuinya. Ini barangkali ada hubungannya juga dengan LEKRA dan MANIKEBO, tambahnya. Pendapat ini juga sepaham dengan pendapat Mihar Harahap. Mihar menambahkan bahwa itu terjadi sebab adannya perang antar kubu, antara LEKRA dan MANIKEBO. Di akhir pembicaraannya, dia bertanya pada Sakinah sebenarnya Sakinah itu di kubu mana ? walau sabil bercanda.
Sekilas Pandang
Pada Omong-omong Sastra kali ini di dominansi oleh sastrawan-sastrawan senior, walau yang beberapa yang junior tetap ada meski yang junior belum bisa dikatakan sebagai sastrawan. Pada Omong-omong satra sebelumnya, kegiatan ini cukup banyak di ikuti oleh kalangan mahasiswa, tapi di karenakan dalam masa libur perkuliahan maka banyak yang pulang kekampung halaman dan akhirnya tidak bisa mngikuti kegiatatan ini.
Berbica mengenai senior dan junior, Sulaiman Sabbas menyarankan agar kiranya para senior turut serta memperkenalkan yang junior kekancah Nasional agar adanya regenerasi yang juga akan membawa nama Sumatera, khususnya Sumatera Utara. Bukan hanya sastrawan tapi ada kaitannya juga dengan redaktur-redaktur sastra dan budaya surat kabar Sumatera Utara. Di tahun 60-an banyak sastrawan yang dibesarkan oleh media, tambahnya.
Perlu saya paparkan sedikit mengenai peserta yang hadir dalam Omong-omong Sastra di rumah Jaya Arjuna antara lain Damiri Mahmud, Sulaiman Sabbas, Maulana Samsuri, Darwis Rifai Harahap, Nasib TS, Sugeng Setia Darma, Mihar Harahap, Suyadi San, M. Raudah Jambak, Yunus Rangkuti, Teja Purnama, Jones Gultom, Ilham Wahyudi, Djamal, Sakinah Annisa Mariz, teman-teman Teater Alif dan beberapa lagi yang lain.
Namanya Omong-omong Sastra tidak lengkap juga kalau tidak ada pertunjukan sastra. Sehabis makan siang, sakinah membacakan sebuah sajak miliknya dan Raudah Jambak membacakan sajak milik Jaya Arjuna yang ditulis sekitar tahun 70-an.
Akhirnya kegiatan ini selesai pukul 15.20 WIB dan sebagai kegiatan penutup menyambut bulan Ramadhan dan kegiatan ini akan dilanjutkan setelah Idul Fitri nantinya. Besar harapan kegiatan ini terus hidup dan semakin berkembang.
Salama OOS,
Salam Sastra !!!
Salam Sastra !!!
Syafrizal Sahrun
tulisan ini di muat di Harian Waspada Tanggal 21 Agustus 2011, tapi nama penulis (saya) tertukar dengan nama M. Raudah Jambak.
tulisan ini di muat di Harian Waspada Tanggal 21 Agustus 2011, tapi nama penulis (saya) tertukar dengan nama M. Raudah Jambak.
Komentar
Posting Komentar